Malam itu, aku dan ibuku akan pergi ke pasar Banjaran. Entah apa alasan ibuku pergi ke pasar tradisional itu malam-malam begini. Waktu menunjukkan pukul 19.00 dan gerimis membasahi jalanan utama yang gelap. Hanya ada sebuah lampu pijar tergantung pada sebilah bambu di sudut pertigaan jalan.
Seharusnya semua angkutan umum tak ada yang beroperasi. Tak ada mobil yang turun kembali ke kota. Apalagi rumahku itu terletak di kampung. Yang membuatku heran kenapa ibuku menunggu angkot, ratusan meter dari rumahku. Tepatnya di daerah Cidarangdan. Sementara rumah kami berada di Pasir Kadu. Harus melewati satu kampung lain agar mencapai Cidarangdan.
Tiba-tiba sebuah angkutan umum muncul dari arah menuju Banjaran. Sepertinya mau pulang dan itu adalah mobil terakhir.
“Bang, mau ke Banjaran lagi?” tanya ibuku.